![$rows[judul]](https://www.lantaran.com/asset/foto_berita/Haram_(16).png)
Wakil Ketua DPR, Sufmi Dasco Ahmad, menilai aksi ini berlangsung secara sistematis. “Kami mendeteksi dan mendapat masukan dari lembaga-lembaga pengamanan memang ada upaya memecah belah persatuan dan kesatuan,” kata Dasco, Kamis, 31 Juli 2025.
Ia menyebut ada kelompok yang ingin Indonesia mengalami kemunduran, padahal saat ini, kata dia, negara sedang bergerak maju di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto. “Imbauan saya kepada seluruh anak bangsa, mari bersatu, melawan hal-hal seperti itu,” ujar Ketua Harian DPP Partai Gerindra tersebut.
Anggota Badan Legislasi DPR, Firman Soebagyo, menyampaikan pandangan senada. Menurutnya, pemasangan bendera One Piece pada bulan kemerdekaan merupakan provokasi politik untuk menyerang pemerintahan Prabowo Subianto.
Firman meminta aparat penegak hukum untuk menindak tegas terduga pelaku provokator ini. "Minimal mereka yang melakukan (gerakan) diinterogasi. Siapa yang menyuruh dan apa motifnya," ucap dia, Kamis, 31 Juli 2025.
3. Aksi ini merupakan wujud nasionalisme yang berubah bentuk
Pendiri Nalar Institute, Yanuar Nugroho, tidak sepakat jika aksi ini dianggap mencerminkan lunturnya nasionalisme. Ia menilai gerakan tersebut sebagai bentuk nasionalisme yang berubah rupa. “Dari kepatuhan simbolik menjadi ekspresi kritis,” kata Yanuar saat dihubungi, Jumat, 1 Agustus 2025.
Yanuar menilai wajar bila warga mulai menolak kebijakan pemerintah belakangan ini, apalagi ketika negara dinilai tidak lagi berpihak pada keadilan sosial. “Sikap ini tidak anti-negara. Alih-alih mengibarkan bendera negara secara formalistik, mereka memilih simbol yang lebih jujur mencerminkan kegelisahan publik,” ujarnya.
Ia menambahkan, di era digital saat ini, bahasa simbol justru lebih efektif menggugah kesadaran kolektif. Menurutnya, pengibaran bendera One Piece dapat dimaknai sebagai satire politik. “Ini bukan pengkhianatan, melainkan kritik tajam yang menuntut introspeksi. Simbol ini menjadi kanal alternatif untuk mengungkapkan frustrasi,” kata pengamat kebijakan publik tersebut.